“Sebuah catatan atas penyelenggaraan Musyawarah Nasional II Dewan Adat Dayak
Se-Kalimantan Di Pontianak, 2-5 September 2006”.
Yohanes Supriyadi
Anggota Presidium Pergerakan Cendekiawan Dayak (PCD) Kalbar
Pengantar
Tulisan ini hendak mengajak kawan-kawan aktivis Dayak Kalimantan yang akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional II Dewan Adat Dayak Se-Kalimantan, yang akan diselenggarakan pada tanggal 2-5 September 2006 nanti, untuk berpikir dan memformulasi gerakan politik Dayak dimasa depan dalam kerangka NKRI. Sengaja tulisan saya beri judul: ”Mencari Dayak Di Masa Silam dan Masa Depan”, dengan harapan menjadi satu bahan diskusi secara komprehensif para peserta Munas II DAD, agar kegiatan Munas ini lebih bermakna, dan tidak sekedar simbolitas, sebagaimana kegiatan-kegiatan terdahulu. Masyarakat Dayak se-Kalimantan tentunya, dengan kegiatan yang maha besar diawal millenium baru ini sangat berharap adanya suatu formulasi yang tepat, cepat dan strategis untuk kemajuan Bangsa Dayak di Kalimantan, sehingga dapat sejajar dengan suku bangsa lainnya di Indonesia.
MELIHAT Dayak Masa Silam
Umum diketahui bahwa pada masa awal Dayak bolehlah dikatakan sebagai penduduk asli dan merupakan mayoritas di Kalimantan. Penduduknya menyebar mulai dari pesisir hingga bagian pedalaman. Mereka yang tinggal di pesisir mengembangkan beberapa kerajaan dan menganut Hindu, bekerja sebagai pedagang, nelayan, dan petani. Sedangkan sebagian lainnya yang tinggal di pedalaman menganut agama asli, bekerja sebagai peladang berpindah dan pengumpul makanan. Kontak dengan pedagang asing dan kedatangan migran, mendorong penduduk yang tinggal di pesisir untuk beralih agama menjadi Islam sedemikian sehingga mengembangkan kebudayaannya sendiri yang lebih berkembang dengan berpusat di kesultanan. Awalnya jumlah penduduk kelompok ini sangat sedikit, namun sering dengan semakin banyaknya Dayak yang berkonversi menjadi Islam disamping migrasi orang Islam dari daerah lain yang melakukan perkawinan silang, jumlah mereka menjadi bertambah. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai Melayu (Dr. Iqbal Djajadi,2004).
Dalam bukunya ”Kalimantan Membangun”, Tjilik Riwut, Pahlawan Nasional RI satu-satunya dari bangsa Dayak Kalimantan mengungkapkan bahwa bangsa Dayak di Kalimantan juga memainkan peran yang sangat penting dalam merebut kemerdekaan dari tangan kolonial. Riwut, yang mantan Gubernur pertama Kalimantan Tengah ini mencatat bahwa pergerakan nasional modern dari pulau Kalimantan diawali dengan kemunculan Serikat Dayak (1919), Pakat Dayak (1923) serta Dayak In Action (1945) yang secara signifikan sudah sanggup mengemban keinginan merdeka dalam programnya dan mencoba mewujudkannya bersama rakyat. Pada tahun 1932, Serikat Dayak diubah menjadi Pakat Dayak, dengan konsentrasi pada kegiatan sosial, ekonomi dan pendidikan. Tujuannya adalah untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dayak melalui kegiatan social dan pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah dan usaha semacam koperasi.
Namun, gerakan Dayak untuk bebas dari penindasan baik yang dilakukan kerajaan feodal maupun penjajah Belanda semakin menguat dari tahun ketahun diseluruh Kalimantan. Pada tahun 1941 misalnya, sejumlah tokoh Dayak dalam suatu retret guru agama katolik di Nyarumkop Kalimantan Barat bersepakat untuk meningkatkan dan memperjuangkan nasib orang Dayak melalui perjuangan politik. Kesepakatan itu merupakan salah satu inisiatif JC Oevaang Oeray, siswa seminari yang menulis surat kepada peserta retret. Oleh AF Korak, JR Giling dan MT Djaman, berhasil dicetuskan kebulatan tekad untuk berjuang secara politik. 4 tahun setelah kesepakatan itu, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1945, FC Palaunsoeka, guru sekolah rakyat di Puttusibau dan kawan-kawannya mendirikan Dayak In Action (DIA) dengan moderator seorang pastor Jawa bernama Adi Karjana SJ. Karena perkembangan situasi politik saat itu, pada tanggal 1 Nopember 1945, DIA diubah menjadi Partai Persatuan Daya (PD) dengan ketua umum pertamanya FC Palaoensoeka. Disetiap kampung dibentuk Komisariat yang sejajar dengan Dewan Pimpinan Cabang. Momentum gerakan politik melalui PD kemudian mendapat tempat dengan diubahnya karesidenan Kalbar menjadi Daerah Istimewa Kalbar pada tanggal 12 Mei 1947.
Sejarah mencatat, perjuangan politik orang Dayak ternyata tidak hanya berjuang secara diplomatic, tetapi ada juga yang berjuang senjata. Pada tahun 1943 diproklamasikan sebuah Negara Dayak bernama Negara Madjang Desa. Pang Suma menjabat sebagai perdana menteri, yang dibantu oleh Pang Linggan, dan kawan-kawannya. Gerakan Pang Suma menyihir para aktivis muda Dayak untuk bergabung dinegara yang baru terbentuk ini, termasuk sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup ketika beberapa kali pecah pertempuran melawan pemerintah Hindia Belanda. Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu diantara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma. Di Sidas, Mane Pak Kasih, asal Kampung Pancur Sengah Temila bertempur dengan tentara NICA di Jembatan Sidas. Bersama rombongannya, Mane Pak Kasih gugur, membela kemerdekaan yang sudah diraih. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Sidas. Mengapa pejuang-pejuang itu gagal ? Salah satu sebab utama kegagalan tersebut adalah ketidakmampuan Dayak radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan potensial rakyat Dayak secara umum, sehingga mereka tak memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi serangan aparat militer Jepang.
Sebagaimana dicatat para penulis Eropah, pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah Belanda & Jepang. Dayak adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang walaupun juga berada dalam kekuasaan Melayu, namun mereka berusaha mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif. Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak. Dalam batas tertentu, pemerintah dan misionaris juga membuka kesempatan pendidikan yang besar kepada Cina. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.
Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik.
Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.
Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik.
MENCARI Dayak Masa Depan
Saat ini, kaum feodalisme yang direfresentasikan oleh negara terus menekan Dayak. Intervensi kebijakan ekonomi neoliberal (yaitu,liberalisasi pasar; pemotongan subsidi rakyat; privatisasi asset daerah; liberalisasi impor) yang belakangan semakin intensif melalui berbagai alat-alatnya [Kadin, dsb] ternyata belum dianggap cukup ampuh sebagai solusi bagi krisis umum kapitalisme dewasa ini. Melayu pun memerlukan intervensi politik-ideologis; Dayak harus mendukung serta terlibat aktif dalam barisan perang melawan kemiskinan yang belakangan ini gencar dikampanyekan oleh pemerintah. Kedua tindakan tersebut pada hakekatnya adalah mengamankan Dayak.
Perlawanan Dayak secara umum mengalami peningkatan. Kualitas dan kuantitasnya bisa dibaca mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Meski demikian, kekuatan, daya pukul dan kualitas perlawanan itu sama sekali tidak merata, baik dari segi teritorial maupun sektor tertentu. Meskipun jumlah perlawanan meningkat, namun yang perlu dicatat adalah aksi-aksi Dayak itu mayoritas dilancarkan setelah pemerintah melayu mengeluarkan kebijakan yang strategis dan sangat terasa bagi Dayak. Sehingga, spontanitas memang masih menjadi ciri yang melekat pada perlawanan Dayak, karena sikapnya yang baru pada tahap menanggapi tindakan para pejabat, serta terbatas pada persoalan jabatan politik dan ekonomi, ketimbang merupakan hasil inisiatif dari bangsanya sendiri untuk melawan dan memberontak. Apalagi perlawanan ini belum menemukan satu bentuk dan tujuannya sama sekali, dalam periode transisional apalagi strategis. Sehingga selain spontan, ia juga masih sporadik dan sendiri-sendiri. Perlahan-lahan ciri ini mulai mencair. Meskipun secara umum memang wataknya masih spontanitas yang pasif, namun dari beberapa momentum telah menunjukkan perubahan yang cukup maju dan menimbulkan optimisme. Momentum Pemilihan Kepala Daerah Langsung sejak tahun 2005 (Pilkada) menjadi bukti kebangkitan embrionik bentuk perlawanan Dayak yang lebih terorganisir, lebih berwatak multi sektoral, serta berkarakter aktif dan politis dalam tuntutan dan sikapnya.
Secara keseluruhan perkembangan maju gerakan Dayak relatif belum cukup terintegrasi dengan arus perkembangan perjuangan demokratik. Dari ratusan kali aksi perlawanan massa yang berlangsung sepanjang sepuluh tahun ini, belum cukup berkembang luas yang berada dalam orbit program-program perjuangan demokratik. Mayoritas masih dalam arus perlawanan spontan yang berkembang dari proses alamiah. Perlawanan mahasiswa Dayak, maupun oportunisme program-program yang yang dipasokkan elemen-elemen diluar mahasiswa [kaum ekonomisme dan aliran opurtunisme lainnya]. Kemudahan-kemudahan dari atmosfir radikal perlawanan spontan belum mampu diakumulasikan menjadi energi revolusioner, baik dalam makna program maupun wadah-wadah politik massa.
Perlawanan Dayak yang selama ini terikat tangannya pada tuntutan tanah (dilakukan aktivis lingkungan, aktivis NGO), saat ini sudah mampu meluaskan cakrawala perjuangannya. Sebenarnya, sebagai gejala kesadaran Dayak dari kungkungan tuntutan akan tanah yang menjadi ciri pokok dari partisipasi Dayak dalam penuntasan reformasi total, dan menjadi tipe yang berbeda di kalbar, sudah menunjukan bahwa Dayak mampu bergerak lebih jauh dari ciri revolusi demokratik dalam makna Eropa dan atau Amerika Latin.
Dayak juga bergerak atas landasan hak-hak demokratiknya, menjatuhkan ratusan kepala desa dan bahkan beberapa juga bupati karena gugatan terhadap KKN, serta penentangannya terhadap ekspansi neoliberalisme, dll yang diwujudkan dalam ekspansi perusahaan Kelapa Sawit yang monokultur itu. Saat ini, walaupun perlawanan menuntut hak tanah terus berlangsung, perlawanan Dayak mulai mendapat basis perluasannya yang melibatkan populasi yang lebih luas melalui gerakan credit union (CU). Kepemilikan tanah yang sempit, rendahnya basis teknologi dan manajemen produksinya menyebabkan Dayak menjadi korban senyata-nyatanya dari serangan nafsu serakah kaum kapitalistik yang diboncengi oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dan pertambangan. Akumulasinya telah berlangsung sejak krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Dari hari ke hari kenistaan imperialisme terus menggiring Dayak pada batas kemampuannya untuk bertahan hidup, meniadakan alternative lain kecuali melawan !!.
Belakangan aksi menentang pejabat non Dayak terus membesar, seperti yang ditunjukkan oleh para mahasiswa, dsb. Seperti halnya mahasiswa, arus perlawanan Dayak mayoritas masih bersifat spontan. Bukan berarti tidak ada kemajuan. Beberapa perkembangan bisa menunjukkan arah perlawanan yang makin maju: mulai menyatunya Dayak dari lokal-lokal yang berbeda, bergerak dalam aksi massa dengan isu yang sama dan relatif terorganisir, sehingga terlihat militansi dan daya tahannya cukup lama misalnya. Kurangnya intervensi dari elemen-elemen yang lebih maju di kalangan Dayak menyebabkan proses integrasi dengan gerakan demokratik ini berjalan sangat lambat.
Kandungan terpenting dalam memahami kecenderungan politis di Kalimantan Barat, yakni bagaimana kita memahami aspek keragaman Dayak itu sendiri. Sementara itu, dalam kontek pemahaman Dayak masa depan, terletak pada kemampuan kita mengelola dengan baik potensi-potensi sosial tersebut menjadi semacam modal politik. Sehingga, keragaman subetnik itu, dapat kita jadikan semacam potensi politik, guna memperkuat Dayak.
Harapan dan angan-angan membangun masyarakat Dayak yang bermartabat dan kuat, bagaimanapun juga harus dikuasai sebagai variabel pendukung pembaharuan, bukan justru dijadikan sumber masalah, untuk kemudian dijadikan alasan terjadinya konflik antar Dayak. Pada tahap bahwa keragaman subetnik dan agama yang dianut Dayak dinyatakan sebagai kekayaan atas "model Dayak", menurut hemat penulis akan melahirkan beragam bentuk prasyarat-prasyarat politis yang intinya lebih banyak melakukan beragam akomodasi dan bukan berupa represi politik, seperti pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, kekuasan negara di tengah-tengah masyarakat Dayak yang serba multi-kultural ini, hendaknya penguasa politik tidak mungkin hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik jargon-jargon seperti: integrasi, kebhinekaan dan bentuk kekuasaan feodal yang hegemonik. Sebaliknya, apabila potensi sosio-kultural itu tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesakan politik yang berjung pada ketidak-stabilan politik.
Selama kurun perubahan politik pasca kejatuhan Orde Baru, telah kita saksikan betapa buruknya pengelolaan potensi sosial oleh elit Dayak. Terlebih, apabila kita melihat bangkitnya gerakan kaum muda Dayak akhir-akhir ini, dengan kasat mata, elit politik Dayak terlalu mudah menyederhanakan masalah. Keragaman tuntutan dimaknai hanya sebagai bentuk kerewelan kaum muda serta dianggap mengganggu kedudukan elit politik Dayak. Padahal, suka atau tidak suka, tuntutan perubahan dari beragam kaum muda Dayak di Kalbar, akan terus menerus menjadi sebuah keniscayaan politik yang sulit untuk kita bendung. Keragaman sebagai keniscyaan wacana Persatuan Dayak (PD) hendaknya dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia Dayak yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas Dayak, baik dalam subetnik, agama, budaya, sampai dengan orientasi politik.
Tawaran paradigma berupa kesadaran persatuan Dayak, memang, bukanlah hal yang baru. Masalahnya, bagaimana caranya kita dapat memobilisasikan konsep keberagaman tersebut melalui proses pengambilan keputusan politis yang menguntungkan Dayak secara keseluruhan. Pasalnya, selang bertahun-tahun, konsep Persatuan Dayak yang dijabarkan secara politis ke dalam konsep Kebhinekaan, hanya bekerja pada tataran kognitif semata. Sebaliknya, dalam praktek kekuasaan yang ada, justru melakukan tindak penolakan (ketidak-konsistensi), seperti tergambarkan melalui sentralisasi politik dan sosial. Penyelewengan konsepsi berpolitik semacam itu, setidaknya berhasil menghadirkan kondisi yang buruk seperti melahirkan stigma politis atas hak-hak manusia Dayak. Berdasarkan sudut pandang seperti itu, sudah semestinya, yang kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan DAYAK yang cerdas, dalam arti mampu melihat ancaman menjadi potensi.
Konsepsi Dayak dengan segala bentuk keragaman kulturalnya, pada tahapan teoritik, akan membawa masyarakat Dayak pada bentuk kesadaran, bahwa kita merupakan bangsa yang majemuk (plural), bangsa yang kaya ragamnya (diversity) dan sebagai bangsa yang besar (big nations). Dengan kenyataan semacam ini, konklusi yang hendak ditawarkan di sini adalah; bagaimana para pelaku politik Dayak mempunyai tanggung jawab yang memadai- dan dengan maksud mampu mengakomodir segala bentuk kemajemukan sosial. Sifat hetrogenik semacam ini, bilamana tidak dijadikan sebagai landasan kerja politik, menurut hemat penulis akan semakin menjauhkan posisi para politisi negara/aparatus negara dengan massa pendukungnya. Terlebih, apabila kita kaitkan kondisi tersebut dengan tuntutan perubahan ke depan. Secara terang benderang, para politisi telah meramalkan suatu kondisi dunia dengan meningkatnya kesadaran etnositas yang serba tidak tunggal (majemuk) dan penuh konflik jangka pendek. Indikasi kebenaran teoritik tersebut, secara kasatmata sudah kita rasakan saat ini. Persoalannya, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas Dayak, harus didasarkan semangat egaliterisme dengan muatan dan prasayarat yang sangat kompleks.
Bilamana model persatuan Dayak yang menekankan pluralitas hendak diterapkan, sepatutnya kita mencermatinya secara lebih kritis lagi. Salah praktek, akibatnya akan mengakibatkan anarkisme kekuasaan dan kemudian dibarengi oleh anarkisme sosial yang cenderung distruktif antar Dayak. Maka dari itu, di tengah bangkitnya kesadaran lokal yang kian hari kian meningkat, sudah sepatutnya beragam piranti organisasi Dayak jauh lebih serius, manakala kita menghendaki geo-politik Dayak hendak dipertahankan. Dengan lain perkataan, apakah kita akan tetap mempertahankan konsepsi politik Dayak dalam bentuk wacana integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk Dayak yang lebih pluralisti-seperti kita memikirkan kembali bentuk negara feredartif. Tanpa kesiapan untuk melakukan perubahan paradigma Dayak secara lebih mendasar, saya mengkhawatirkan cara-cara penanggulangan masalah seperti yang diberlakukan terhadap Madura, akan sangat tidak bermanfaat dalam perspektif Dayak ke depan.
Karenanya, kerumitan akibat luasnya ruang lingkup konflik di antara Dayak, merupakan potensi gangguan kekerasan antar Dayak. Bentuk keragaman dengan konsekuensi menguatnya politik kekerasan, muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh etnik lain untuk menghasut atau menekan konflik.
Berdasarkan realitas politik seperti itu, paham persatuan Dayak diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap proses demokratisasi diKalbar kedepan. Upaya terus menerus mengetangahkan persamaan hak politik di tingkat sosial yang lebih luas, akan menghubungkan persatuan Dayak dengan demokrasi. Terlebih jika kita melihat sisi keragaman Dayak itu, sebagai modal sosial, maka yang kita lihat bahwa hetrogenitas itu menawarkan jalur-jalur baru yang kelak kemudian hari akan memberi jalan alternatif pembaharuan politik Dayak di Kalimantan Barat. Karena Persatuan Dayak itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia Dayak dan kemanusiannya, maka konsep politik harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia Dayak. Dasar untuk menempatkan hakekat kemanusiaan, menjadi memiliki relevansi, terlebih melihat kondisi politik Dayak, yang kian hari kian menunjukan tindak persaingan tidak sehat.
Kedepan, politik Dayak membutuhkan pintu baru, sebuah cara untuk mengenali kembali akar sosialnya sendiri. Meskipun begitu, di bawah interpretasi-interpretasi yang penuh bias itu adalah demokrasi dan semangat pembaharuan yang pluralistik merupakan pilihan yang sangatlah sulit bagi kehidupan di tanah air.Langkah untuk mengetahui, meskipun sulit untuk mengatakan, mengapa dan bagaimana demokrasi menjadi jalan yang terjal untuk sebuah prasyarat perubahan, kita dapat kembali memaknai seluruh peristiwa perubahan sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk terus menjadikan masa lalu yang buruk untuk membangun kembali, sekian catatan kegagalan bangsa ini mencari bentuknya yang paling ideal. Bahwa kesadaran, catatan dan harapan yang kini tak ubahnya sulit kita pahami, tetapi setidaknya kesadaran akan perubahan bisa memberikan cukup informasi untuk mengetahui bahwa kekerasan, bahkan kebrutalan politik, bukanlah satu-satunya modal kultural yang kita miliki. Masih terdapat banyak cara, untuk menyusun kembali "puzzle" keragaman Nusantara dalam kerangka Indonesia moderen yang jauh lebih manusiawi.
Namun, semuanya akan benar-benar menjadi kenangan kolektif, bilama kita tidak menyadari perubahan itu adalah keniscayaan sejarah dari rentetan pulau dan kehidupan Dayak dimasa depan. Akhirnya, penulis dan segenap anggota Pergerakan Cendekiawan Dayak (PCD) Kalbar mengucapkan selamat dan sukses atas penyelenggaraan Munas II DAD se-Kalimantan. Viva Dayak.
http://sepauk-tempunak.blogspot.com/2011/11/mencari-dayak-di-masa-silam-dan-masa.html
Se-Kalimantan Di Pontianak, 2-5 September 2006”.
Yohanes Supriyadi
Anggota Presidium Pergerakan Cendekiawan Dayak (PCD) Kalbar
Pengantar
Tulisan ini hendak mengajak kawan-kawan aktivis Dayak Kalimantan yang akan menyelenggarakan Musyawarah Nasional II Dewan Adat Dayak Se-Kalimantan, yang akan diselenggarakan pada tanggal 2-5 September 2006 nanti, untuk berpikir dan memformulasi gerakan politik Dayak dimasa depan dalam kerangka NKRI. Sengaja tulisan saya beri judul: ”Mencari Dayak Di Masa Silam dan Masa Depan”, dengan harapan menjadi satu bahan diskusi secara komprehensif para peserta Munas II DAD, agar kegiatan Munas ini lebih bermakna, dan tidak sekedar simbolitas, sebagaimana kegiatan-kegiatan terdahulu. Masyarakat Dayak se-Kalimantan tentunya, dengan kegiatan yang maha besar diawal millenium baru ini sangat berharap adanya suatu formulasi yang tepat, cepat dan strategis untuk kemajuan Bangsa Dayak di Kalimantan, sehingga dapat sejajar dengan suku bangsa lainnya di Indonesia.
MELIHAT Dayak Masa Silam
Umum diketahui bahwa pada masa awal Dayak bolehlah dikatakan sebagai penduduk asli dan merupakan mayoritas di Kalimantan. Penduduknya menyebar mulai dari pesisir hingga bagian pedalaman. Mereka yang tinggal di pesisir mengembangkan beberapa kerajaan dan menganut Hindu, bekerja sebagai pedagang, nelayan, dan petani. Sedangkan sebagian lainnya yang tinggal di pedalaman menganut agama asli, bekerja sebagai peladang berpindah dan pengumpul makanan. Kontak dengan pedagang asing dan kedatangan migran, mendorong penduduk yang tinggal di pesisir untuk beralih agama menjadi Islam sedemikian sehingga mengembangkan kebudayaannya sendiri yang lebih berkembang dengan berpusat di kesultanan. Awalnya jumlah penduduk kelompok ini sangat sedikit, namun sering dengan semakin banyaknya Dayak yang berkonversi menjadi Islam disamping migrasi orang Islam dari daerah lain yang melakukan perkawinan silang, jumlah mereka menjadi bertambah. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai Melayu (Dr. Iqbal Djajadi,2004).
Dalam bukunya ”Kalimantan Membangun”, Tjilik Riwut, Pahlawan Nasional RI satu-satunya dari bangsa Dayak Kalimantan mengungkapkan bahwa bangsa Dayak di Kalimantan juga memainkan peran yang sangat penting dalam merebut kemerdekaan dari tangan kolonial. Riwut, yang mantan Gubernur pertama Kalimantan Tengah ini mencatat bahwa pergerakan nasional modern dari pulau Kalimantan diawali dengan kemunculan Serikat Dayak (1919), Pakat Dayak (1923) serta Dayak In Action (1945) yang secara signifikan sudah sanggup mengemban keinginan merdeka dalam programnya dan mencoba mewujudkannya bersama rakyat. Pada tahun 1932, Serikat Dayak diubah menjadi Pakat Dayak, dengan konsentrasi pada kegiatan sosial, ekonomi dan pendidikan. Tujuannya adalah untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Dayak melalui kegiatan social dan pendidikan seperti mendirikan sekolah-sekolah dan usaha semacam koperasi.
Namun, gerakan Dayak untuk bebas dari penindasan baik yang dilakukan kerajaan feodal maupun penjajah Belanda semakin menguat dari tahun ketahun diseluruh Kalimantan. Pada tahun 1941 misalnya, sejumlah tokoh Dayak dalam suatu retret guru agama katolik di Nyarumkop Kalimantan Barat bersepakat untuk meningkatkan dan memperjuangkan nasib orang Dayak melalui perjuangan politik. Kesepakatan itu merupakan salah satu inisiatif JC Oevaang Oeray, siswa seminari yang menulis surat kepada peserta retret. Oleh AF Korak, JR Giling dan MT Djaman, berhasil dicetuskan kebulatan tekad untuk berjuang secara politik. 4 tahun setelah kesepakatan itu, tepatnya pada tanggal 30 Oktober 1945, FC Palaunsoeka, guru sekolah rakyat di Puttusibau dan kawan-kawannya mendirikan Dayak In Action (DIA) dengan moderator seorang pastor Jawa bernama Adi Karjana SJ. Karena perkembangan situasi politik saat itu, pada tanggal 1 Nopember 1945, DIA diubah menjadi Partai Persatuan Daya (PD) dengan ketua umum pertamanya FC Palaoensoeka. Disetiap kampung dibentuk Komisariat yang sejajar dengan Dewan Pimpinan Cabang. Momentum gerakan politik melalui PD kemudian mendapat tempat dengan diubahnya karesidenan Kalbar menjadi Daerah Istimewa Kalbar pada tanggal 12 Mei 1947.
Sejarah mencatat, perjuangan politik orang Dayak ternyata tidak hanya berjuang secara diplomatic, tetapi ada juga yang berjuang senjata. Pada tahun 1943 diproklamasikan sebuah Negara Dayak bernama Negara Madjang Desa. Pang Suma menjabat sebagai perdana menteri, yang dibantu oleh Pang Linggan, dan kawan-kawannya. Gerakan Pang Suma menyihir para aktivis muda Dayak untuk bergabung dinegara yang baru terbentuk ini, termasuk sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup ketika beberapa kali pecah pertempuran melawan pemerintah Hindia Belanda. Momentum perlawanan Pang Suma diawali dengan pemukulan seorang tenaga kerja Dayak oleh pengawas Jepang, satu diantara sekitar 130 pekerja pada sebuah perusahaan kayu Jepang. Kejadian ini kemudian memulai sebuah rangkaian perlawanan yang mencapai puncak dalam sebuah serangan balasan Dayak yang dikenal dengan Perang Majang Desa, dari April hingga Agustus 1944 di daerah Tayan-Meliau-Batang Tarang (Kab. Sanggau). Sekitar 600 pejuang kemerdekaan dibunuh oleh Jepang, termasuk Pang Suma. Di Sidas, Mane Pak Kasih, asal Kampung Pancur Sengah Temila bertempur dengan tentara NICA di Jembatan Sidas. Bersama rombongannya, Mane Pak Kasih gugur, membela kemerdekaan yang sudah diraih. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Sidas. Mengapa pejuang-pejuang itu gagal ? Salah satu sebab utama kegagalan tersebut adalah ketidakmampuan Dayak radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan potensial rakyat Dayak secara umum, sehingga mereka tak memiliki kekuatan yang cukup dalam menghadapi serangan aparat militer Jepang.
Sebagaimana dicatat para penulis Eropah, pada masa sebelum dan selama masa kolonial, Kalbar merupakan daerah yang terdiri dari banyak kesultanan. Kendati saling bersaing, semua sultan adalah Melayu dan memperoleh dukungan dari pemerintah Belanda & Jepang. Dayak adalah rakyat yang menjadi subyek kekuasaan Melayu. Cina merupakan kelompok etnik yang walaupun juga berada dalam kekuasaan Melayu, namun mereka berusaha mengembangkan otonomi tersendiri & relatif eksklusif. Konfigurasi sosial semacam itu terus bertahan hingga beberapa peristiwa penting terjadi di penghujung masa kolonialisme dan masa kemerdekaan. Pemerintah Belanda & misionaris memberikan kesempatan pendidikan yang besar, dan secara sadar atau tidak, ikut membentuk identitas etnik kepada Dayak. Dalam batas tertentu, pemerintah dan misionaris juga membuka kesempatan pendidikan yang besar kepada Cina. Tragedi pembunuhan massal oleh Jepang di Mandor membuat Melayu kehilangan banyak sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan karena sikap yang cenderung pro Belanda pada masa awal kemerdekaan, membuat Melayu pada akhirnya kehilangan peluang untuk menguasai birokrasi pemerintahan pada masa Orde Lama. Sejumlah Dayak berhasil memanfaatkan situasi ini, setelah berhasil mengkosolidasi kekuatannya, mereka mendirikan partai politik dan menang dalam pemilu 1955 dan 1958. Hal ini kemudian mengantarkan Dayak untuk menempati posisi sebagai kelompok etnik yang berkuasa. Satu orang menjadi gubernur, dan 4 di antaranya menjadi bupati serta beberapa mengisi jabatan-jabatan prestisius lainnya. Singkatnya, Dayak naik ke kursi kekuasaan, menggantikan kelompok etnik yang dulu mereka anggap sebagai penjajahnya.
Kemerdekaan dan politik luar negeri Indonesia di masa Orde Lama, membuat Cina menjadi lebih berkembang. Mereka bukan hanya menguasai ekonomi, melainkan juga mulai masuk dan berperan dalam bidang sosial-politik.
Tidak lama Dayak menguasai birokrasi pemerintahan. Seiring dengan pergantian rezim dan perubahan politik luar-negeri Indonesia, pemerintah pusat membatasi aktivitas tokoh Dayak dalam politik dan pemerintahan, dan menggantikannya dengan pejabat militer yang berasal dari Jawa. Dayak berusaha mengadakan koptasi, namun gagal.
Peralihan Orde Lama ke Orde Baru merupakan masa yang paling menyakitkan bagi Cina. Mereka bukan hanya kehilangan posisinya secara ekonomi dan politik, melainkan juga harus kehilangan materi dan nyawa. Kelompok etnik yang relatif beruntung adalah Melayu dan Madura. Belajar dari sejarah, secara perlahan Melayu berhasil kembali menguasai birokrasi tingkat menengah ke bawah. Kendati perannya secara politik tidak besar, Madura berhasil memperbaiki posisinya sedemikian sehingga pemerintah, militer, dan parpol terpaksa harus memperhatikan kepentingannya dalam beberapa urusan tertentu. Puncaknya adalah terpilihnya seorang militer Madura menjadi bupati di kabupaten Sanggau.
Orde Baru adalah masa kontemplasi dan konsolidasi bagi Dayak. Dalam masa panjang itu, mereka berusaha semakin menguatkan identitas etnik mereka dengan mengontraskan perbedaan antara Dayak dengan Melayu. Mereka mengidetifikasi dirinya sebagai Kristen, penduduk asli, mayoritas, namun dijajah oleh Melayu yang mereka anggap sebagai Islam, pendatang dan minoritas. Mereka mendirikan berbagai organisasi sosial-politik dan ekonomi yang berusaha memberdayakan kelompok etniknya. Beberapa belas tahun kemudian, pemberdayaan tersebut berhasil mentransformasikan dirinya sebagai suatu gerakan politik.
MENCARI Dayak Masa Depan
Saat ini, kaum feodalisme yang direfresentasikan oleh negara terus menekan Dayak. Intervensi kebijakan ekonomi neoliberal (yaitu,liberalisasi pasar; pemotongan subsidi rakyat; privatisasi asset daerah; liberalisasi impor) yang belakangan semakin intensif melalui berbagai alat-alatnya [Kadin, dsb] ternyata belum dianggap cukup ampuh sebagai solusi bagi krisis umum kapitalisme dewasa ini. Melayu pun memerlukan intervensi politik-ideologis; Dayak harus mendukung serta terlibat aktif dalam barisan perang melawan kemiskinan yang belakangan ini gencar dikampanyekan oleh pemerintah. Kedua tindakan tersebut pada hakekatnya adalah mengamankan Dayak.
Perlawanan Dayak secara umum mengalami peningkatan. Kualitas dan kuantitasnya bisa dibaca mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Meski demikian, kekuatan, daya pukul dan kualitas perlawanan itu sama sekali tidak merata, baik dari segi teritorial maupun sektor tertentu. Meskipun jumlah perlawanan meningkat, namun yang perlu dicatat adalah aksi-aksi Dayak itu mayoritas dilancarkan setelah pemerintah melayu mengeluarkan kebijakan yang strategis dan sangat terasa bagi Dayak. Sehingga, spontanitas memang masih menjadi ciri yang melekat pada perlawanan Dayak, karena sikapnya yang baru pada tahap menanggapi tindakan para pejabat, serta terbatas pada persoalan jabatan politik dan ekonomi, ketimbang merupakan hasil inisiatif dari bangsanya sendiri untuk melawan dan memberontak. Apalagi perlawanan ini belum menemukan satu bentuk dan tujuannya sama sekali, dalam periode transisional apalagi strategis. Sehingga selain spontan, ia juga masih sporadik dan sendiri-sendiri. Perlahan-lahan ciri ini mulai mencair. Meskipun secara umum memang wataknya masih spontanitas yang pasif, namun dari beberapa momentum telah menunjukkan perubahan yang cukup maju dan menimbulkan optimisme. Momentum Pemilihan Kepala Daerah Langsung sejak tahun 2005 (Pilkada) menjadi bukti kebangkitan embrionik bentuk perlawanan Dayak yang lebih terorganisir, lebih berwatak multi sektoral, serta berkarakter aktif dan politis dalam tuntutan dan sikapnya.
Secara keseluruhan perkembangan maju gerakan Dayak relatif belum cukup terintegrasi dengan arus perkembangan perjuangan demokratik. Dari ratusan kali aksi perlawanan massa yang berlangsung sepanjang sepuluh tahun ini, belum cukup berkembang luas yang berada dalam orbit program-program perjuangan demokratik. Mayoritas masih dalam arus perlawanan spontan yang berkembang dari proses alamiah. Perlawanan mahasiswa Dayak, maupun oportunisme program-program yang yang dipasokkan elemen-elemen diluar mahasiswa [kaum ekonomisme dan aliran opurtunisme lainnya]. Kemudahan-kemudahan dari atmosfir radikal perlawanan spontan belum mampu diakumulasikan menjadi energi revolusioner, baik dalam makna program maupun wadah-wadah politik massa.
Perlawanan Dayak yang selama ini terikat tangannya pada tuntutan tanah (dilakukan aktivis lingkungan, aktivis NGO), saat ini sudah mampu meluaskan cakrawala perjuangannya. Sebenarnya, sebagai gejala kesadaran Dayak dari kungkungan tuntutan akan tanah yang menjadi ciri pokok dari partisipasi Dayak dalam penuntasan reformasi total, dan menjadi tipe yang berbeda di kalbar, sudah menunjukan bahwa Dayak mampu bergerak lebih jauh dari ciri revolusi demokratik dalam makna Eropa dan atau Amerika Latin.
Dayak juga bergerak atas landasan hak-hak demokratiknya, menjatuhkan ratusan kepala desa dan bahkan beberapa juga bupati karena gugatan terhadap KKN, serta penentangannya terhadap ekspansi neoliberalisme, dll yang diwujudkan dalam ekspansi perusahaan Kelapa Sawit yang monokultur itu. Saat ini, walaupun perlawanan menuntut hak tanah terus berlangsung, perlawanan Dayak mulai mendapat basis perluasannya yang melibatkan populasi yang lebih luas melalui gerakan credit union (CU). Kepemilikan tanah yang sempit, rendahnya basis teknologi dan manajemen produksinya menyebabkan Dayak menjadi korban senyata-nyatanya dari serangan nafsu serakah kaum kapitalistik yang diboncengi oleh pengusaha-pengusaha perkebunan dan pertambangan. Akumulasinya telah berlangsung sejak krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997. Dari hari ke hari kenistaan imperialisme terus menggiring Dayak pada batas kemampuannya untuk bertahan hidup, meniadakan alternative lain kecuali melawan !!.
Belakangan aksi menentang pejabat non Dayak terus membesar, seperti yang ditunjukkan oleh para mahasiswa, dsb. Seperti halnya mahasiswa, arus perlawanan Dayak mayoritas masih bersifat spontan. Bukan berarti tidak ada kemajuan. Beberapa perkembangan bisa menunjukkan arah perlawanan yang makin maju: mulai menyatunya Dayak dari lokal-lokal yang berbeda, bergerak dalam aksi massa dengan isu yang sama dan relatif terorganisir, sehingga terlihat militansi dan daya tahannya cukup lama misalnya. Kurangnya intervensi dari elemen-elemen yang lebih maju di kalangan Dayak menyebabkan proses integrasi dengan gerakan demokratik ini berjalan sangat lambat.
Kandungan terpenting dalam memahami kecenderungan politis di Kalimantan Barat, yakni bagaimana kita memahami aspek keragaman Dayak itu sendiri. Sementara itu, dalam kontek pemahaman Dayak masa depan, terletak pada kemampuan kita mengelola dengan baik potensi-potensi sosial tersebut menjadi semacam modal politik. Sehingga, keragaman subetnik itu, dapat kita jadikan semacam potensi politik, guna memperkuat Dayak.
Harapan dan angan-angan membangun masyarakat Dayak yang bermartabat dan kuat, bagaimanapun juga harus dikuasai sebagai variabel pendukung pembaharuan, bukan justru dijadikan sumber masalah, untuk kemudian dijadikan alasan terjadinya konflik antar Dayak. Pada tahap bahwa keragaman subetnik dan agama yang dianut Dayak dinyatakan sebagai kekayaan atas "model Dayak", menurut hemat penulis akan melahirkan beragam bentuk prasyarat-prasyarat politis yang intinya lebih banyak melakukan beragam akomodasi dan bukan berupa represi politik, seperti pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, kekuasan negara di tengah-tengah masyarakat Dayak yang serba multi-kultural ini, hendaknya penguasa politik tidak mungkin hanya menyederhanakan masalah melalui praktek politik jargon-jargon seperti: integrasi, kebhinekaan dan bentuk kekuasaan feodal yang hegemonik. Sebaliknya, apabila potensi sosio-kultural itu tidak dikelola dengan baik, besar kemungkinannya akan melahirkan pergesekan-pergesakan politik yang berjung pada ketidak-stabilan politik.
Selama kurun perubahan politik pasca kejatuhan Orde Baru, telah kita saksikan betapa buruknya pengelolaan potensi sosial oleh elit Dayak. Terlebih, apabila kita melihat bangkitnya gerakan kaum muda Dayak akhir-akhir ini, dengan kasat mata, elit politik Dayak terlalu mudah menyederhanakan masalah. Keragaman tuntutan dimaknai hanya sebagai bentuk kerewelan kaum muda serta dianggap mengganggu kedudukan elit politik Dayak. Padahal, suka atau tidak suka, tuntutan perubahan dari beragam kaum muda Dayak di Kalbar, akan terus menerus menjadi sebuah keniscayaan politik yang sulit untuk kita bendung. Keragaman sebagai keniscyaan wacana Persatuan Dayak (PD) hendaknya dijadikan paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antarmanusia Dayak yang belakangan selalu hidup dalam suasana penuh konflikstual. Saat ini muncul kesadaran masif bahwa diperlukan kepekaan terhadap kenyataan kemajemukan, pluralitas Dayak, baik dalam subetnik, agama, budaya, sampai dengan orientasi politik.
Tawaran paradigma berupa kesadaran persatuan Dayak, memang, bukanlah hal yang baru. Masalahnya, bagaimana caranya kita dapat memobilisasikan konsep keberagaman tersebut melalui proses pengambilan keputusan politis yang menguntungkan Dayak secara keseluruhan. Pasalnya, selang bertahun-tahun, konsep Persatuan Dayak yang dijabarkan secara politis ke dalam konsep Kebhinekaan, hanya bekerja pada tataran kognitif semata. Sebaliknya, dalam praktek kekuasaan yang ada, justru melakukan tindak penolakan (ketidak-konsistensi), seperti tergambarkan melalui sentralisasi politik dan sosial. Penyelewengan konsepsi berpolitik semacam itu, setidaknya berhasil menghadirkan kondisi yang buruk seperti melahirkan stigma politis atas hak-hak manusia Dayak. Berdasarkan sudut pandang seperti itu, sudah semestinya, yang kita butuhkan sekarang adalah model kekuasaan DAYAK yang cerdas, dalam arti mampu melihat ancaman menjadi potensi.
Konsepsi Dayak dengan segala bentuk keragaman kulturalnya, pada tahapan teoritik, akan membawa masyarakat Dayak pada bentuk kesadaran, bahwa kita merupakan bangsa yang majemuk (plural), bangsa yang kaya ragamnya (diversity) dan sebagai bangsa yang besar (big nations). Dengan kenyataan semacam ini, konklusi yang hendak ditawarkan di sini adalah; bagaimana para pelaku politik Dayak mempunyai tanggung jawab yang memadai- dan dengan maksud mampu mengakomodir segala bentuk kemajemukan sosial. Sifat hetrogenik semacam ini, bilamana tidak dijadikan sebagai landasan kerja politik, menurut hemat penulis akan semakin menjauhkan posisi para politisi negara/aparatus negara dengan massa pendukungnya. Terlebih, apabila kita kaitkan kondisi tersebut dengan tuntutan perubahan ke depan. Secara terang benderang, para politisi telah meramalkan suatu kondisi dunia dengan meningkatnya kesadaran etnositas yang serba tidak tunggal (majemuk) dan penuh konflik jangka pendek. Indikasi kebenaran teoritik tersebut, secara kasatmata sudah kita rasakan saat ini. Persoalannya, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas Dayak, harus didasarkan semangat egaliterisme dengan muatan dan prasayarat yang sangat kompleks.
Bilamana model persatuan Dayak yang menekankan pluralitas hendak diterapkan, sepatutnya kita mencermatinya secara lebih kritis lagi. Salah praktek, akibatnya akan mengakibatkan anarkisme kekuasaan dan kemudian dibarengi oleh anarkisme sosial yang cenderung distruktif antar Dayak. Maka dari itu, di tengah bangkitnya kesadaran lokal yang kian hari kian meningkat, sudah sepatutnya beragam piranti organisasi Dayak jauh lebih serius, manakala kita menghendaki geo-politik Dayak hendak dipertahankan. Dengan lain perkataan, apakah kita akan tetap mempertahankan konsepsi politik Dayak dalam bentuk wacana integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk Dayak yang lebih pluralisti-seperti kita memikirkan kembali bentuk negara feredartif. Tanpa kesiapan untuk melakukan perubahan paradigma Dayak secara lebih mendasar, saya mengkhawatirkan cara-cara penanggulangan masalah seperti yang diberlakukan terhadap Madura, akan sangat tidak bermanfaat dalam perspektif Dayak ke depan.
Karenanya, kerumitan akibat luasnya ruang lingkup konflik di antara Dayak, merupakan potensi gangguan kekerasan antar Dayak. Bentuk keragaman dengan konsekuensi menguatnya politik kekerasan, muncul karena adanya berbagai macam alasan, seperti kegagalan lembaga-lembaga politik dan hukum untuk menyediakan perangkat/aturan bagi penyelesaian konflik maupun mengatasi keluhan-keluhan, konsolidasi (penguatan) identitas-identitas komunal dimana kelompok-kelompok bersaing mendapatkan akses untuk atau kendali atas sumber-sumber ekonomi, dan penggunaan kekerasan yang dijatuhkan oleh etnik lain untuk menghasut atau menekan konflik.
Berdasarkan realitas politik seperti itu, paham persatuan Dayak diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap proses demokratisasi diKalbar kedepan. Upaya terus menerus mengetangahkan persamaan hak politik di tingkat sosial yang lebih luas, akan menghubungkan persatuan Dayak dengan demokrasi. Terlebih jika kita melihat sisi keragaman Dayak itu, sebagai modal sosial, maka yang kita lihat bahwa hetrogenitas itu menawarkan jalur-jalur baru yang kelak kemudian hari akan memberi jalan alternatif pembaharuan politik Dayak di Kalimantan Barat. Karena Persatuan Dayak itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia Dayak dan kemanusiannya, maka konsep politik harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia Dayak. Dasar untuk menempatkan hakekat kemanusiaan, menjadi memiliki relevansi, terlebih melihat kondisi politik Dayak, yang kian hari kian menunjukan tindak persaingan tidak sehat.
Kedepan, politik Dayak membutuhkan pintu baru, sebuah cara untuk mengenali kembali akar sosialnya sendiri. Meskipun begitu, di bawah interpretasi-interpretasi yang penuh bias itu adalah demokrasi dan semangat pembaharuan yang pluralistik merupakan pilihan yang sangatlah sulit bagi kehidupan di tanah air.Langkah untuk mengetahui, meskipun sulit untuk mengatakan, mengapa dan bagaimana demokrasi menjadi jalan yang terjal untuk sebuah prasyarat perubahan, kita dapat kembali memaknai seluruh peristiwa perubahan sebagai bagian yang tidak terpisahkan untuk terus menjadikan masa lalu yang buruk untuk membangun kembali, sekian catatan kegagalan bangsa ini mencari bentuknya yang paling ideal. Bahwa kesadaran, catatan dan harapan yang kini tak ubahnya sulit kita pahami, tetapi setidaknya kesadaran akan perubahan bisa memberikan cukup informasi untuk mengetahui bahwa kekerasan, bahkan kebrutalan politik, bukanlah satu-satunya modal kultural yang kita miliki. Masih terdapat banyak cara, untuk menyusun kembali "puzzle" keragaman Nusantara dalam kerangka Indonesia moderen yang jauh lebih manusiawi.
Namun, semuanya akan benar-benar menjadi kenangan kolektif, bilama kita tidak menyadari perubahan itu adalah keniscayaan sejarah dari rentetan pulau dan kehidupan Dayak dimasa depan. Akhirnya, penulis dan segenap anggota Pergerakan Cendekiawan Dayak (PCD) Kalbar mengucapkan selamat dan sukses atas penyelenggaraan Munas II DAD se-Kalimantan. Viva Dayak.
http://sepauk-tempunak.blogspot.com/2011/11/mencari-dayak-di-masa-silam-dan-masa.html
0 komentar:
Posting Komentar
bagi anda yang ingin memberi masukan,kritik dan saran
silahkan anda menulis di bawah ini